chaayoo
Pasca
ditetapkannya revisi UU Pilkada tidak langsung, yang di tetapkan DPR RI pada 25
September 2014 lalu. Menuai polemik dimasyarakat banyak kalangan yang menentang
hal tersebut. Sebagian masyarakat ingin pilkada langsung, sebagian via DPRD. Pilkada
langsung selama ini yang diterapkan oleh negara kita banyak menelan anggaran
negara belum lagi konflik sosial antar pendukung, money politik, keterlibatan
aparatur negara sebagai timses atau jurkam. lebih banyak mudoratnya, itulah
alasan sebagian kalangan menilai tentang pilkada langsung. Ada pula yang
menyatakan apabila pilkada melalui DPRD itu sama saja mundur kebelakang pada
masa orde baru, cikal bakal matinya demokrasi, merampas hak politik masyarakat
untuk memilih pemimpinnya. Akan terjadi kongkalikong antara DPRD dan Pemerintah
Daerah, tentu masyarakat tak dipikirkan karena mereka bertanggung jawab kepada
anggota dewan bukan masyarakat karena DPRD yang memilihnya.
Kita tahu jumlah
Koalisi Merah Putih yang notabene pendukung prabowo di parlemen berjumlah 292
kursi (Non Demokrat) dan Koalisi Indonesia Hebat pendukung Jokowi sebanyak 207
kursi. Tentunya akan berpengaruh sekali terhadap kebijakan pemerintah yang
dibuat. Bukti yang baru kita saksikan adalah manuver KMP tentang revisi UU
pilkada yang mereka menangkan, seandainya Demokrat bergabung pun kepada koalisi
Jokowi belum mampu mengalahkan suara KMP diparlemen. Akan tetapi pada saat penetapan
UU pilkada kemarin Demokrat memilih netral dengan opsi Walkout alasannya
opsi ketiga dengan menyatakan pilkada langsung namun dengan 10 perbaikan tidak
digubris pimpinan sidang.
UU Pilkada tidak
langsung mendapatkan cercaan dari masyarakat banyak yang mencela akan hal
tersebut selain kepada KMP yang mengusulkannya, publik juga menyayangkan Sikap Presiden
SBY dalam hal ini, tidak menggunakan jabatannya untuk menentang hal tersebut.
Opini publik yakni SBY dan Demokrat mendukung pilkada tidak langsung yang di
usung KMP tersebut. Banyak celaan yang dilontarkan masyarakat baik di media
massa ataupun media sosial, bahkan menjadi trending topic di jejaring sosial. Tentunya
SBY tidak ingin citra yang selama ini dibangun beliau menjadi buruk menjelang
akhir masa jabatannya. Beliau pun tidak ingin dikenang masyarakat sebagai bapak
anti demokrasi dinegeri ini.
Setelah UU
Pilkada via DPRD di sepakati DPR, SBY tidak langsung menandatangani UU tersebut,
alasan beliau mengatakan sangat berat menandatangani UU Pilkada tersebut. Entah
hanya manuver beliau atau hanya pencitraan atau apalah namanya. Dalam hal
tersebut UU Pilkada yang telah di sepakati DPR akan tetap sah walaupun tanpa
tanda tangan dari presiden dan hanya bisa di tolak melalui mekanisme dewan
mahkamah konstitusi untuk uji materi. Setelah mendapatkan hujatan di berbagai
media massa ataupun jejaring sosial barulah SBY menerbitkan Perppu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan alasan SBY sebagai presiden
mempunyai Hak untuk menerbitkan Perppu tersebut, harapan beliau setelah
diterbitkannya perppu tersebut maka UU Pilkada Via DPRD dibatalkan dan pilkada
tetap dipilih langsung oleh masyarakat.
Dalam hal
mengenai Perppu yang diterbitkan SBY sebagai presiden, masih juga menuai
polemik dikalangan masyarakat. Entah karena hanya pengembalian citra beliau
sebagai presiden dimata masyarakat atau hanya manuver beliau semata sebagai
obat penenang untuk masyarakat serta nama baik beliau di mata dunia mengingat
beliau pernah mendapatkan penghargaan sebagai bapak demokrasi sehingga
seolah-olah beliau menentang pilkada via DPRD, mengingat Perppu yang
diterbitkan beliau dinilai terlambat dan akan sia-sia. Karena Perppu harus mendapat persetujuan DPR.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini
menyatakan bahwa Presiden berhak menetapkan Perpu jika hal ikhwal kepentingan
yang memaksa. Dalam ayat 2 dinyatakan Perppu itu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan berikut. Jika Perppu tersebut tidak mendapat persetujuan,
maka Perppu itu harus dicabut.
Hal ini juga sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 52 ayat 1 dinyatakan
bahwa Perppu diajukan ke DPR dan diayat 3 DPR dapat menyetujui atau tidak Perppu
tersebut. Dalam ayat 5 dinyatakan jika Perppu tidak disetujui DPR maka Perppu
tersebut harus di cabut dan dinyatakan tidak berlaku. Apakah SBY tidak
menghitung besarnya kekuatan beliau di Parlemen. Kekuatan parlemen dikuasai
oleh Koalisi Merah Putih sebanyak 292 kursi yang menginginkan Pilkada Via DPRD.
Seandainya Demokrat bergabung dalam kubu koalisi Jokowi pun yang menentang
Pilkada Via DPRD pada parlemen belum tentu bisa meloloskan Perppu tersebut. Maka
dalam hal ini tindakan SBY menerbitkan Perppu hanya akal-akalan beliau menarik
simpati publik bak pahalawan kesiangan. Kita lihat saja selanjutnya apa yang
terjadi.
Kekuatan KMP yang ada di parlemen menggambarkan bagaimana
pemerintah kedepan harus bernegoisasi dengan extra keras guna meloloskan
kebijakan yang akan di terapkan pemerintah kedepannya, untuk itu untuk Jokowi
hendaknya bisa melakukan lobi-lobi politik guna mengetuk kekuatan koalisi merah
putih di DPR agar semua urusan berjalan lancar lihat saja polemik SBY dan UU
Pilkada maupun Perppu. Semoga saja!!!
No comments:
Post a Comment
kelik