--> WELCOME TO MY BLOG IVAN MOAN NST WELCOME TO MY BLOG IVAN MOAN NST

Aug 9, 2015

MASALAH PERDA BERMASALAH

chaayoo



Sebentar lagi kita akan merayakan pemilihan kepala daerah serentak pertama kali di Indonesia pada tanggal 9 Desember 2015. Yang sebelumnya pilkada dilakukan di tiap-tiap daerah masing-masing berdasarkan periode yang telah ditentukan. Alasan pemilihan kepala daerah serentak tidak lain yakni untuk mengirit anggaran pemerintah yang selama ini kita ketahui sangat banyak menelan biaya.

Namun tahukah kita salah satu efek pemilihan kepala daerah secara langsung dan adanya otonomi daerah itu, akan munculnya peraturan daerah yang dalam bahasa Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo tidak Pancasilais. Banyak calon kepala daerah pada saat berkampanye di depan masyarakat mengucapkan janji untuk menerbitkan perda semacam untuk menarik pemilih dari kelompok-kelompok tertentu. Baik kelompok agama tertentu, suku, dan sebagainya.

Namun ketika terpilih sebagai kepala daerah atas nama pemenuhan janji serta otonomi daerah, mereka betul-betul memberlakukan perda-perda yang memang bermasalah tersebut. Itu artinya pemberlakuan perda-perda bisa dikatakan sebentuk politisasi agama ataupun kelompok. Mendagri mengidentifikasi sebanyak 139 perda bermasalah yang telah di terbitkan masing-masing kepala daerah.

Kementerian Dalam Negeri sedang memerifikasi perda-perda tersebut. Perda-perda itu bisa dibagi ke dalam paling tidak empat kelompok. Kelompok pertama mengatur perkara “moral publik,” seperti Prostitusi, perjudian dan minuman keras. Golongan kedua berkaitan dengan “kemahiran” atau kewajiban beribadah. Seperti kewajiban memakai busana muslim, atau sebagainya. 

Golongan ketiga berhubungan dengan simbol keagamaan, kelompok keempat mengatur kelompok minoritas. Banyak diantara perda tersebut yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan Undang-undang Dasar, nilai-nilai kebinekaan serta prinsip-prinsip negara kesatuan. Tidak sedikit pula di antara perda-perda itu yang bersebrangan dengan hak asasi manusia serta mendiskriminasi kelompok minoritas dan kaum perempuan.

Itu artinya dalam tataran konstitusional, perda-perda tersebut tidak tunduk pada undang-undang, undang-undang dasar, bahkan dasar negara. Dengan istilah lainnya perda-perda itu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam tataran sosial, perda-perda itu pun rawan memicu konflik.

Perda yang melarang umat lain selain penganut Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) untuk mendirikan tempat ibadah di Kabupaten Tolikara, Papua disebut-sebut sebagai salah satu penyebab penyerangan jamaah salah idul fitri. Dalam ungkapan lain perda-perda itu melanggar kepentingan publik. 

Pemilihan langsung kepala daerah serta otonomi daerah menjadi pangkal terbitnya perda-perda bermasalah tersebut, dalam jangka panjang boleh juga kita meninjau ulang kedua praktik demokrasi itu. Dalam jangka pendek, karena kita hendak memasuki pilkada langsung, Bawaslu harus menunjukan taringnya. Jangan ragu menegur, bahkan bila perlu mendskualifikasi, calon kepala daerah yang mengumbar janji akan menerbitkan perda-perda yang kelak akan menjadi perda bermasalah. Terhadap perda-perda yang bermasalah yang sudah terlanjur terbit, sudah benar langkah Kemendagri yang memverifikasi mereka.

Bahkan gubernur pun bisa memverifikasi. Gubernur dan Mendagri jangan ragu membatalkan perda yang bila diverifikasi betul-betul bermasalah. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang pemerintahan daerah, perda bisa dibatalkan mendagri atau gubernur bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, kepentingan umum, dan kesusilaan.

Perda bermasalah di duga paling tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Seharusnya perda yang dibuat oleh kepala daerah tersebut di jadikan sebagai solusi untuk mengatasi masalah, bukan sebaliknya sebagai sumber masalah. Perda yang tidak Pancasilais (Istilah Mendagri) dapat mengancam plularitas mayarakat Indonesia sekaligus mengancam eksistensi negara kesatuan. Kita mendambakan Indonesia yang damai dalam keberagaman tanpa ada perda yang bermasalah.

Urbanisasi dan Kemiskinan

chaayoo


Pemerintah kota kini tengah diselimuti rasa khawatir atas potensi meningkatnya warga pendatang pasca lebaran. Pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya menunjukan bahwa pasca lebaran merupakan momentum bagi sebagian warga di pedesaan untuk pindah ke perkotaan. Salah satu aspek yang dikhawatirkan pemerintah kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan ialah dalam penyediaan kesempatan kerja. Penyediaan kesempatan kerja bagi pencari kerja memang menjadi suatu keharusan. Pasalnya, jika terabaikan itu akan menimbulkan masalah sosial. Misalnya, pengemis dan gembel (gelandangan) serta tindak kriminal seperti maling, pencurian, perampokan maupun pencopetan.

Kekhawatiran pemerintah kota atas pertambahan penduduk akibat urbanisasi itu kiranya cukup beralasan mengingat kesempatan kerja di perkotaan sangat terbatas. Bahkan, angka pengangguran di perkotaan jauh lebih tinggi jika dibandingkan di pedesaan. Namun meski angka pengangguran di pedesaan lebih kecil ketimbang di perkotaan, angka kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan di perkotaan. Hasil Susenas 2011 misalnya, menunjukan angka kemiskinan di perkotaan ialah sebesar 8,39%, sedangkan angka kemiskinan di pedasaan sebesar 14,32%. 

Faktanya hal itu mengisyaratkan bahwa perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan bukan disebabkan kelangkaan pekerjaan di pedesaan, melainkan disebabkan kemiskinan. Pekerjaan di desa memang kurang menjanjikan secara ekonomi, pekerjaan di desa umumnya ialah sebagai buruh tani, berkebun dan bangunan. Hal ini memang sesuai dengan pendidikan dan keahlian yang di miliki penduduk di pedesaan yang umumnya terbilang rendah. “Rata-rata lama sekolah penduduk di pedesaan misalnya, hanya sebesar 6,8 Tahun, sedangkan penduduk di perkotaan telah mencapai 9,4 Tahun.”[1] 
 
Tingkat pendidikan di pedesaan yang cukup rendah diperkirakan menjadi salah satu penyebab terbatasnya peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini diperparah dengan masyarakat yang berstatus sebagai pekerja miskin. Masyarakat pekerja miskin mayoritas berada di pedasaan. Menurut World Bank kategori pekerja miskin adalah yang memiliki pendapatan di bawah US$ 2/hari.

Maka atas dasar itulah salah satu upaya untuk memperkecil arus urbanisasi ialah dengan meningkatkan pendapatan penduduk di pedesaan. Namun, hal itu tidak mudah dilakukan mengingat pendidikan masyarakat di pedesaan yang cukup rendah sehingga cukup sulit untuk meningkatkan produktifitas dan memperluas usaha dan kegiatan, utamanya di luar pertanian.

Walaupun demikian, harapan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan tampaknya masih terbuka lebar. Hal itu bergantung pada kebijakan pemerintah untuk membangun dari bawah, khususnya pedesaaan dan wilayah pinggiran. Eloknya rencana ke arah itu sudah terpikirkan oleh pemerintah presiden Jokowi dengan konsep pembangunan berdasarkan Nawa Cita ketiga, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa.

Namun efektifitas pembangunan berdasarkan Nawa Cita itu amat bergantung pada sasarannya. Diperkirakan, salah satu sasaran yang dapat berkontribusi besar dalam meningkatkan pendapatan di pedesaan ialah membangun infrastruktur. Pasalnya keberadaan infrastruktur yang cukup memadai dapat memperbesar  dan memperlancar usaha sehingga dapat mereduksi biaya ekonomi tinggi dan berpotensi meningkatkan pendapatan.

Potensi peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan bahkan bisa lebih ditingkatkan lagi jika tersedia akses kredit usaha untuk masyarakat, pengolahan, pertanian, perluasan pemasaran dan bantuan usaha lainnya. Untuk ke depannya upaya meningkatkan pendapatan masyarakat desa barangkali perlu di fokuskan pada peningkatan kemampuan sumber daya manusia antara lain melalui pendidikan dan pelatihan. Pasalnya pendapatan yang besar pada umumnya berkolerasi dengan kemampuan SDM dalam melakukan ekspansi usaha, motivasi, dan efeiensi.

Untuk itu, upaya mengurangi arus urbanisasi pemerintah harus dapat menngkatkan pendapatan di pedesaan, dengan melakukan berbagai pembangunan infrastruktur, investor serta melakukan pelatihan ataupun pembinaan masyarkat pedesaan. Supaya apabila sudah terpenuhi skill mereka di desa maka, mereka enggan beranjak ke kota. Maka diperlukan kesadaran dari semua pihak untuk mengantisipasinya terutama masyarakat, pemerintah dan swasta.

Semoga saja program Nawa Cita yang di jual oleh Pemerintah Jokowi mampu terealisasi dan mampu menjawab semua permasalahan mengenai urbanisasi yang selama ini terjadi apalagi menjelang pasca lebaran. Semoga Saja.
 


[1] Badan Pusat Statistik, 2015