chaayoo
Terbangun
pagi-pagi kemudian Baca koran pagi, seorang teman lama menyodorkan sekelumit
inspirasi, sebuah tulisan di Harian Waspada hari ini, lalu berbaur dengan
halusinasi dan imajinasi yang baru saja terusir dari mimpi malam tadi.
SBY sang presiden, SBY pemimpin tertinggi negara-bangsa
kita, SBY raja diraja tempat terakhir harapan dan impian akan masa depan rakyat
jelata. Seorang sosok manusia luar biasa, yang oleh Iwan Fals lantunkan dalam
lagu sebagai “Manusia Setengah Dewa,” kini ia tengah bertahta di atas
singgasana istana merdeka.
SBY, sebagai manusia, kini di masa-masa
akhir menjelang lengsernya, masih saja tetap hadir dengan dua wajah, dua sisi,
dua persepsi. Ibarat sekeping koin uang logam, logika kita dalam memandang,
satu di kiri satu di kanan, hitam-putih, positif-negatif, plus-minus,
gelap terang.
SBY dipuji, SBY dibenci. Pujian dari salah
satu anak negeri yang mengharap perubahan, pembaharuan dan perbaikan sembilan
tahun silam, saat carut-marut problem bangsa terus mendera tanpa ada secercah
cahaya. SBY hadir dengan citra luar biasa sehingga rakyat terpana, terkesima
dan terpesona.
Telah hadir pemimpin bangsa
sebenarnya, Satrio Piningit yang bakal membawa NKRI lepas dari
kemelut ekstra-kusut, membuka gerbang cita-cita negara merdeka, mengalirkan
udara reformasi yang sesungguhnya. Pemilihan langsung untuk kali pertama dalam
sejarah demokrasi Indonesia, pilpres 2004, maka suara hati rakyat dipercayakan
padanya, SBY.
SBY presidenku begitulah simbolis
kampanyenya, akhirnya suara rakyat menyatu dengan jutaan suara mengantarkan sang presiden ke singgasana istana.
Lima tahun berlalu, kita belum bisa banyak menilai presiden pilihan rakyat itu,
karena zaman belum proporsional untuk menilai dalam-dalam kinerjanya. Pilpres
2009, kita berada dalam kebingungan, tak ada yang cukup meyakinkan dari seluruh
calon ‘raja diraja’ yang hendak berlaga.
Maka penilaian kinerja SBY sang presiden ditunda.
Mungkin lima tahun terlalu singkat untuk ‘mengubah wajah bangsa’ yang rusak
parah tak terkira. Pada 2009 tak ada anak bangsa yang tampil ‘berlaga untuk
layak menjadi raja.’ Pemimpin ideal, otentik, berkarakter, pluralis-kebangsaan
sekaligus bersukma kerakyatan. Pilihan terbaik di antara yang buruk. Maka suara
hati rakyat kembali dilabuhkan kembali untuk incumbent. SBY terpilih kembali
menjadi presiden, sumbangan suara di antara ratusan juta suara lainnya yang
bersikap sama.
Kini telah memasuki tahun ke-9 kepemimpinan
presiden, kini makin terbuka pintu-pintu penutup misteri carut-marut bangsa
ini. Semakin hari berganti, SBY semakin membuat sakit hati. Semakin waktu berlalu,
SBY semakin membuat pilu. Semakin masa berjalan, semakin membuat hati didera
kegamangan. Maka SBY dipuji, sekaligus juga dibenci. dipuji karena berhasil
memikat hati rakyat dengan tampilan dan pembawaan yang penuh simpati, orang
pintar bilang, pesona ‘pencitraan.’ Tapi juga dibenci, karena gagal melegakan
hati rakyat dengan prestasi nyata membawa hidup rakyat lebih baik lagi.
SBY dipuji, SBY dibenci. dipuji karena dia
begitu luar biasa memimpin dengan retorika, yang kadang-kadang seakan benar dan
tepat secara logika, namun terasa perih dan sesak dalam dada. Dibenci karena
carut-marut dan kemelut kusut masih mengurung perikehidupan bangsa ini hampir
di semua lini. Hukum oleng sana-sini, korupsi menjadi-jadi, menyebar-merata ke
seluruh kasta anak bangsa, dari kelas kakap-kerah putih-berdasi hingga kelas
teri-kerah lusuh-tanpa alas kaki.
Penggembosan KPK terorganisir berpola jahar dan sirr (terang-terangan
dan terselubung), ketika lembaga pemberantasan korupsi ini tinggal satu-satunya
menjadi harapan anak negeri. Sengketa KPK-Polri dalam ‘kompetisi bar-bar’
semakin menjadi. Politisi dan birokrasi berselingkuh dalam kontroversi hati
istilah Vickynisasi. Penguasa dan pengusaha berkomplot dan berkonspirasi menuju
konspirasi kemakmuran. Senayan, istana dan jalan raya, parade budaya koruptif
mengalir bebas hambatan.
SBY dipuji, karena ia begitu lantang
berteriak tentang pemberantasan korupsi, bak panglima perang yang berani mati
untuk berdiri di garda terdepan tapi nyatanya antek2nya lah yang melanggar
sendiri. Ikrar prajurit sejati, sumpah sapta marga jenderal prawira-ksatria gagah
perkasa. Tapi SBY dibenci, karena semua itu hanya retorika dan wacana,
deklamasi penghibur bocah-bocah sekolah di lapangan upacara. Konvoi kemunafikan
para pemimpin bangsa, lain di mulut, lain di hati, lain di gerak tangan dan
langkah kaki.
SBY dipuji, karena sanggup menyihir dunia
internasional dengan sederet penghargaan.
Tapi SBY tetap dibenci, entah kebencian ini objektif atau
sekadar luapan emosional orang kecil yang selalu gagal dan terkucil tanpa
kepekaan pemimpin tertinggi negeri untuk berempati. Yang pasti, nyatanya tak
sanggup melihat presiden dalam satu sisi, satu wajah atau satu persepsi. Puji
dan benci, suka dan maki, cinta dan amarah, tenang dan gelisah. SBY memaksa
terbelah pada dua wajah, hitam-putih, gelap-terang, plus-minus, harap-cemas,
optimis-skeptis.
Kita terjebak dalam penilaian yang menyiksa
dada. ingin husnuzhan, tapi
setan kejahatan di lingkar kekuasaan menghalang lensa mata, su’uzhan niscaya
kerap menggoda. Benarlah kata pepatah, “Semut di seberang lautan jelas
kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tak kelihatan.” Kita ingin percaya, tapi
problem krisis multidimensi yang memenjara hari-hari memaksa curiga.
Kita ingin tetap memuji, namun kegagalan
demi kegagalan yang semestinya bisa dihindarkan memaksa kita untuk membenci,
meski kita berusaha menahan diri untuk tidak mengumbar sumpah serapah dan
caci-maki. Seperti tulisan temanku yang menginspirasi, dia yang mampu membeber
dan membabar data, fakta dan realita ragam problema yang ada. Kegagalan di
bidang ekonomi, hukum, keamanan, penegakan HAM menjadi alasan menggunungnya
kebencian.
Tapi pertumbuhan itu baru mencerminkan
kuantitas, belum kualitas, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran tetap
tinggi, dan pemerataan pembangunan pun tidak terwujud. Misteri Century, Kisruh
KPK-Polri, kasus Cicak-Buaya I dan II, Hambalang, Terorisme merebak di
mana-mana, kecelakaan transportasi darat, laut dan udara, konflik bernuansa
SARA di sejumlah daerah serta pelanggaran kebebasan warga dalam beragama dan
berkeyakinan, seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah, misteriusnya tragedi
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998, dan masih panjang daftar lain
yang hanya akan menambah gunung kebencian hingga menutup bukit puji dan
penghormatan.
SBY presiden kita, SBY pemimpin kita, SBY sang
raja, maaf kami melihatmu sebagai dua wajah, yang di satu sisi dipuji, namun di
lain sisi dibenci. Sebagai orang kecil yang selalu terkucil dan terjegal untuk
tampil, juga sebagai WNI jelata anak bangsa, kita hanya bisa berkeluh-kesah
lewat rangkaian kalimat sepenggal kisah baik melalui ucapan, dan di jejaring sosial.
Mungkin kelak ada yang mengajari, atau kembali seorang teman menghembuskan
inspirasi, bagaimana caranya agar rasa benci ini jangan sampai mendominasi isi
hati. Kini sang presiden telah padam seolah-olah tiada lagi pesona
pencitraannya yang dulu gegap gempita kini tlah pudar. Presiden kita hanya
tinggal menghitung bulan beliau akan turun kembali dan menorehkan prestasi
buruk dengan IPK 1.5....Sang Presiden SBY (Saya Benci Yudhoyono).