chaayoo
Sebentar lagi kita akan
merayakan pemilihan kepala daerah serentak pertama kali di Indonesia pada
tanggal 9 Desember 2015. Yang sebelumnya pilkada dilakukan di tiap-tiap daerah
masing-masing berdasarkan periode yang telah ditentukan. Alasan pemilihan
kepala daerah serentak tidak lain yakni untuk mengirit anggaran pemerintah yang
selama ini kita ketahui sangat banyak menelan biaya.
Namun tahukah kita
salah satu efek pemilihan kepala daerah secara langsung dan adanya otonomi
daerah itu, akan munculnya peraturan daerah yang dalam bahasa Menteri Dalam
Negeri Tjahyo Kumolo tidak Pancasilais. Banyak calon kepala daerah pada saat
berkampanye di depan masyarakat mengucapkan janji untuk menerbitkan perda
semacam untuk menarik pemilih dari kelompok-kelompok tertentu. Baik kelompok
agama tertentu, suku, dan sebagainya.
Namun ketika terpilih
sebagai kepala daerah atas nama pemenuhan janji serta otonomi daerah, mereka
betul-betul memberlakukan perda-perda yang memang bermasalah tersebut. Itu
artinya pemberlakuan perda-perda bisa dikatakan sebentuk politisasi agama
ataupun kelompok. Mendagri mengidentifikasi sebanyak 139 perda bermasalah yang
telah di terbitkan masing-masing kepala daerah.
Kementerian Dalam
Negeri sedang memerifikasi perda-perda tersebut. Perda-perda itu bisa dibagi ke
dalam paling tidak empat kelompok. Kelompok pertama mengatur perkara “moral
publik,” seperti Prostitusi, perjudian dan minuman keras. Golongan kedua
berkaitan dengan “kemahiran” atau kewajiban beribadah. Seperti kewajiban
memakai busana muslim, atau sebagainya.
Golongan ketiga
berhubungan dengan simbol keagamaan, kelompok keempat mengatur kelompok
minoritas. Banyak diantara perda tersebut yang bertentangan dengan dasar negara
Pancasila dan Undang-undang Dasar, nilai-nilai kebinekaan serta prinsip-prinsip
negara kesatuan. Tidak sedikit pula di antara perda-perda itu yang bersebrangan
dengan hak asasi manusia serta mendiskriminasi kelompok minoritas dan kaum
perempuan.
Itu artinya dalam
tataran konstitusional, perda-perda tersebut tidak tunduk pada undang-undang,
undang-undang dasar, bahkan dasar negara. Dengan istilah lainnya perda-perda
itu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam tataran sosial, perda-perda itu pun rawan memicu konflik.
Perda yang melarang
umat lain selain penganut Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) untuk mendirikan
tempat ibadah di Kabupaten Tolikara, Papua disebut-sebut sebagai salah satu
penyebab penyerangan jamaah salah idul fitri. Dalam ungkapan lain perda-perda
itu melanggar kepentingan publik.
Pemilihan langsung
kepala daerah serta otonomi daerah menjadi pangkal terbitnya perda-perda
bermasalah tersebut, dalam jangka panjang boleh juga kita meninjau ulang kedua
praktik demokrasi itu. Dalam jangka pendek, karena kita hendak memasuki pilkada
langsung, Bawaslu harus menunjukan taringnya. Jangan ragu menegur, bahkan bila
perlu mendskualifikasi, calon kepala daerah yang mengumbar janji akan
menerbitkan perda-perda yang kelak akan menjadi perda bermasalah. Terhadap perda-perda
yang bermasalah yang sudah terlanjur terbit, sudah benar langkah Kemendagri
yang memverifikasi mereka.
Bahkan gubernur pun
bisa memverifikasi. Gubernur dan Mendagri jangan ragu membatalkan perda yang
bila diverifikasi betul-betul bermasalah. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2015 tentang pemerintahan daerah, perda bisa dibatalkan mendagri
atau gubernur bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi lagi, kepentingan umum, dan kesusilaan.
Perda bermasalah di
duga paling tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum. Seharusnya perda yang dibuat oleh kepala daerah tersebut di
jadikan sebagai solusi untuk mengatasi masalah, bukan sebaliknya sebagai sumber
masalah. Perda yang tidak Pancasilais (Istilah Mendagri) dapat mengancam
plularitas mayarakat Indonesia sekaligus mengancam eksistensi negara kesatuan.
Kita mendambakan Indonesia yang damai dalam keberagaman tanpa ada perda yang
bermasalah.
No comments:
Post a Comment
kelik