Dunia politik tak ubahnya seperti arena bertarung
yang sangat membutuhkan strategi jitu dalam pemenangannya. Tidak hanya
sekedar politik uang yang mampu berperan sebagai second God dalam memenangkan
hati rakyat, namun bukan politik uang saja yang menjamin akan menang. Saat
ini rakyat semakin kritis dan sebagian besar tak lagi tertarik pada politik
uang, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian partai politik
yang menggunakan politik uang sebagai strategi pemenangannya
Politik uang belum bisa dijadikan alat kemenangan,
yang paling utama adalah kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah
partai politik atau pun si calon dan strategi pencitraan para pemimpin partai
politik ataupun kandidat untuk bisa memenangan dalam pemilihan umum, sehingga
selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan untuk menggerakkan mesin politik,
pencitraan para kandidat merupakan kunci penentu
kemenangan.
Sudah menjadi
trend atau kebiasaan para pejabat kita di negara ini, baik pusat ataupun di
daerah. Apabila ingin menjadi calon anggota DPR, DPRD, Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota, mengunakan strategi pencitraan. Jauh sebelum menjadi kandidat
calon para pejabat, politisi atau apapun namanya mereka dengan giat melakukan
berbagai pencitraan. Mulai dari cara blusukan ke rumah warga, pasar sampai
pelosok desa. Memasang iklan berupa baliho, spanduk dan iklan di media
elektronik.
Tujuan mereka
melakukan hal tersebut adalah agar dikenal oleh masyarakat luas, mendapatkan
citra baik dan mendapatkan simpati dari rakyat yang memilih. Berbagai cara
dilakukan untuk nanti terpilih dan dipilih. Karena pencitraan adalah cara yang
terbaik untuk mendapatkan simpati rakyat sudah banyak contoh yang terjadi di
negara kita ini yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh politik kita.
Menurut bahasa
“pencitraan berasal dari kata citra yang artinya gambaran, rupa atau pandangan.
Citra itu gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, organisasi,
perusahaan dsb”. (Kamus Bahasa Indonesia)
Politik
pencitraan adalah politik yang dibuat untuk menggambarkan seseorang, pejabat,
partai, ormas, dll adalah baik atau buruk. Politik pencitraan positif digunakan
untuk mengangkat elektibilitas diri dan golongannya sedangkan pencitraan
negatif untuk menjatuhkan musuh/lawannya.
Sejak Pemilu
tahun 2004 hingga pemilu yang baru berlangsung baik pemilihan presiden atau pun
pemilu kepala daerah. Startegi pencitraan cukup terbukti ampuh dalam
memenangkan pemilu karena masyarakat kini sudah semakin selektif dalam memilih
bukan hanya uang saja (Masyarakat kota) akan tetapi dilihat juga rekam
jejak mereka, bibit, bebet, dan bobotnya.
Kita masih
ingat pada sosok Jokowi yang sebelum menjabat gubernur Jakarta beliau adalah
walikota Solo yang di citrakan masyarakat Solo sebagai pemimpin yang jujur,
merakyat dan sederhana. Kemudian beliau mencalonkan sebagai gubernur Jakarta berpasangan
dengan Ahok hasilnya beliau memenangkan pemilu tersebut karena persepsi
masyarakat Jakarta yang dicitrakan masyarakat Solo, bahwa beliau Jujur dan
merakyat serta tidak mengambil uang gajinya sebagai walikota Solo.
Kemudian sejak
menjadi gubernur Jakarta Jokowi membuat masyarakat terkesima dengan
pencitraannya melakukan blusukan keberbagai tempat mulai dari pasar, rumah
warga, turun ke gorong-gorong, makan di warteg dsb. Sehingga dimata masyarakat
beliau adalah sosok pemimpin yang selama ini di rindukan masyarakat. Karena selama
ini pejabat hanya tahu duduk dikursi, di ruang ber-AC, mobil mewah dan enggan
turun ke tengah-tengah masyarakat.
Ternyata dengan
pencitraan ala blusukan yang beliau lakukan cukup ampuh dan terbukti manjur
karena hanya waktu 2tahun menjabat sebagai gubernur beliau dicalonkan oleh
partainya menjadi calon presiden dan alhasil beliau memenangkan pertarungan
terebut berpasangan dengan Jusuf kalla. Bersaing dengan pasangan Prabowo-Hatta
dengan selisih suara mencapai 8.000.000 lebih.
Strategi pencitraan
dan janji-janji yang beliau lakukan saat kampanye menjadi amunisi yang
mematikan lawannya. Sosok yang di citrakan masyarakat sebagai pemimpin yang
merakyat dan mau turun kebawah. Semoga saja apa yang beliau lakukan bukan hanya
sekedar pencitraan semata dan janji-janji yang beliau ucapkan saat kampanye
menjadi hutang kepada masyarakat yang telah memilihnya karena telah berhasil
meraih konsumen dengan menjual janji-janji politik dengan menggunakan strategi
pencitraan bak sales produk yang handal. Kita berharap bukan!!!
Apakah pencitraannya itu sungguh-sungguh
atau cuma tipu-tipu, itu bisa dilihat dari latar belakang sosialnya. Kalau yang
berasal dari kelas bawah biasanya melakukan politik pencitraan itu dilakukannya
dengan tidak canggung, luwes, dan spontan, karena cenderung pernah mengalami
semua kesusahan itu. Tapi kalau yang berasal dari kelas atas maka biasanya
lucu, tidak spontan, dan artifisial.
Pencitraan diri seorang figur yang
sedang bertarung dalam kontestasi politik berdampak besar bagi elektabilitas
mereka. Sosok yang populer yang sedang berkuasa bisa terjungkal jika salah
sedikit saja dalam mencitrakan dirinya. Sebaik apa pun kinerja lembaga
tersebut jika tidak dibarengi dengan pengelolaan pencitraan yang tepat akan
kurang populer di mata publik. Ujung-ujungnya peran positif lembaga itu akan
tenggelam oleh lembaga lain yang kinerjanya biasa-biasa saja atau bahkan kurang
tapi lihai mengelola pencitraan.
Pemerintahan
SBY yang selama ini penuh dengan lika liku dan aksi demonstrasi dari berbagai
kalangan masyarakat yang dinilai telah gagal dalam membawa negara ini kedalam
kemakmuran dalam 10 tahun belum ada prestasi yang menonjol dimata masyarakat,
akan tetapi dengan Pencitraan yang dilakukan SBY dalam berbicara, berpolitik
dan sebagainya tidak sedikit orang yang simpati kepada beliau serta banyak pula
yang memujinya.
No comments:
Post a Comment
kelik