Jika bicara pilkada
langsung, sejak era reformasi dan di terbitkannya undang-undang No.32 tahun
2004 mengenai pemerintahan daerah atau otonomi daerah yang salah satu tujuan dari pembentukan UU
Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibaca pada bagian pembukaan menimbang (a), yang
berbunyi sebagai berikut: “Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatua Republik Indonesia”. Memang
dalam proses pilkada ini di harapkan akan terciptanya kepala daerah yang
benar-benar mengerti akan inspirasi masyarakat di daerahnya masing-masing,
sebagai pendewasaan akan sistem demokrasi indonesia, mempercepat pembangunan di
daerah, dan yang paling utama dari pilkada ini adanya interaksi dari si calon
dengan masyarakat yang memilihnya adanya kontrol sosial dan masyarakat tahu
siapa dan latar belakang calon kepala daerahnya. Jika kita bandingkan dengan
era orde baru setiap kepala daerah dan anggota DPRD di pilih melalui sistem perwakilan
dari antar partai yang nota bene rakyat tidak mengetahui siapa si kepala daerah
nya sama saja seperti membeli kucing di dalam karung, kemudian si kepala daerah
pun harus membuat kebijakan seluruhnya berdasarkan pemerintah pusat atau dengan
kata lain sentralisasi. Namun setelah hampir 8 tahun semenjak pilkada langsung
di berlakukan pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai
Kertanegara, hampir di tiap-tiap daerah setiap menyelenggarakan pilkada
langsung pasti berbau adanya kecurangan dalam prosesnya, salah satunya mengenai
Pilkada Kota Padangsidimpuan 2012 yang baru saja berlangsung dan
dalam prosesnya banyak sekali pelanggaran-pelanggran yang terjadi.
Padangsidimpuan merupakan daerah pemekaran dari kabupaten
Tapanuli Selatan yang di mekarkan sejak tanggal 21 Juni 2001, berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2001. Pilkada langsung kota
Padangsidimpuan pertama kali di lakukan pada tahun 2007 dan pada saat itu
keluar sebagai pemenang yakni pasangan H. Zulkarnaen Nasution – Mara Gunung
Harahap. Dan pada periode berikutnya yakni tahun 2012 walikota terdahulu H.
Zulkarnaen tidak bisa ikut tampil lagi karena sudah 2 kali menjabat, pada
pilkada kota Padangsidimpuan 2012 waktu itu di ikuti oleh 6 pasangan calon dan
2 di antara nya calon independen. Di katakan bahwa ada 2 calon walikota yang
berasal dari anak salah satu kepala daerah Kab/kota yang ada di Sumatera Utara
ini. Secara perhitungan keduanya unggul di banding pasangan lainnya dalam
pendanaan kampanye karna di topang oleh dana yang berasal dari orang tuanya,
terlihat sebelum masa kampanye keduanya sudah sering melakukan manuver-manuver
politik guna menggait masyarakat seperti membuat perkumpulan dengan mengundang
dan memberikan uang kepada masyarakat sebagai perkenalan, mengajak makan
bersama para tukang becak, supir dan pedangang yang tujuan nya agar mendapat
simpatik masyarakat. Dalam pilkada di setiap daerah memang sarat sekali
pelanggaran pelanggaran seperti : Money Politik, Politik Dinasty, netralitas
PNS biasanya kepada calon incumbent karna ada intervensi dari atasan dan pihak
calon terkait , dan KPU serta Panwaslu yang tidak benar-benar fair,
memobilisasi massa dalam kampanye dengan membagi-bagikan uang, memanipulasi
data pemilih, menghilangkan suara rakyat dengan tidak mendaftarkannya ke DPT
dengan mengintervensi KPU, dll. Tidak terkecuali pada pemilu Kota
Padangsidimpuan tahun 2012 lalu banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang ada
di lapangan seperti: adanya politik uang yang di lakukan pasangan calon walikota
Padangsidimpuan, Dalam undang–undang no 12 tahun 2008 pasal 107
di katakan :
(1) Pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % ( lima puluh persen )
jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan
sebagai pasangan calon terpilih.
Dari sini kita bisa mengkakulasikan
bahwa 30 % dari jumlah pemilih kota Padangsidimpuan sekitar 148.000 pemilih
adalah 44.400 orang untuk syarat kemenangan dalam perolehan dukungan jika
perorang di beri 150.000 maka dana untuk membeli suara pemilih saja berkisar
6,6 M lebih bagi kedua pasangan ini sangat lah mudah untuk melakukan money
politik guna membeli hak suara rakyat bagi mereka tiap calon kepala daerah
tidak lah berat jika di banding perolehannya kelak ketika menjabat. Dalam
pilkada yang lalu uang yang beredar di lapangan berkisar 100rb s/d 150rb/org.
selain money politik pelanggaran lainnya yakni adanya intervensi dari walikota
yang sekarang menjabat kepada para PNS untuk mendukung salah satu pasangan
calon karena masih adanya hubungan pertalian persaudaraan kepada si pasangan
calon, padahal netralistas PNS sudah ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya yakni salah satunya UU No. 43 Th. 1999
(1) PNS harus Profesional, (2) PNS harus Netral dan tidak diskriminatif, (3)
PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus Parpol. Namun pada kenyataannya di
pilkada Padangsidimpuan ini PNS tidak mengindahkan dari undang undang yang
berlaku bahkan sampai tingkat kepala lingkungan ambil andil ikut dalam proses
serangan fajar dengan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat dan itu
terjadi bukan saja di tempat saya sendiri hampir di setiap lorong, desa maupun
lingkungan yang ada setiap kepala lingkungan membagi-bagikan uang dan di
ketahui bahwa si pemberi uang tersebut salah satu calon yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan walikota yang sedang menjabat maka dari itu dengan
memanfaatkan kekuasaannya mereka mengintervensi camat, lurah, kepling yang ada
di kota ini. Kemudian dalam masalah pelanggaran administrsi yakni ada bukti
bahwa salah satu calon memobilisasi massa yang berada di luar kota
Padangsidimpuan agar ikut dalam pemilihan walaupun secara administrasi catatan
sipil mereka bukan warga dari kota Padangsidimpuan namun incumbent
mengintervensi KPU dengan memanipulasi DPT dan semua orang yang di suruh di
tanggung semua biaya akomodasi dan semua kebutuhannya, sebenarnya banyak sekali
bentuk bentuk pelanggrannya yang secara keseluruhan mencederai proses demokrasi
sendiri di tiap-tiap daerah khususnya kota Padangsidimpuan, Pilkada
secara langsung pada hakekatnya dianggap sebagai bentuk perwujudan praktek demokrasi yang paling
sempurna, karena dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ini
diharapkan mampu memunculkan calon-calon pemimpin yang dikenal dan lebih
dekat dengan
masyarakat. Secara teoritis tentu Pilkada langsung memberikan ruang yang sangat
luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan pejabat
publik di daerahnya masing-masing. Namun demikian berdasarkan realitasnya penyelenggaraan
Pilkada secara langsung di kota Padangsidimpuan dan umumnya di tiap tiap daerah
masih di warnai dengan kecurangan atau pelanggaran meskipun kasus-kasus
tersebut sangat sulit dibuktikan namun aromanya begitu terasa di masyarakat
umum, sehingga persoalan-persoalan tersebut menjadi kontraproduktif bagi
perjuangan nilai-nilai demokrasi yang hendak ditegakkan di Indonesia khususnya
daerah. Pilkada Padangsidimpuan pada umumnya hanya berlaku pada calon yang
mempunyai dana yang besar dan di topang dengan elit yang berkuasa yang bisa
memenangkan pemilihan, Keberadaan Partai politik yang besar pun tidak menjamin
akan menang tanpa ada semuanya itu apalagi di sumatera utara faktor kemargaan
sangat berpengaruh pada si calon kepala daerah apalagi ada pertalian saudara
itu amat sangat kental di kota Padangsidimpuan dengan kata lain faktor putra
daerah sangat berpengaruh pada masyarakat untuk memilih. Pilkada
padangsidimpuan tahun 2012 lalu padahal menelan banyak anggaran yang dana nya
di ambil dari APBD sebesar 10 Milyar lebih namun dari sekian banyaknya anggaran
yang di gunakan sia-sia saja jika hanya menghasilkan kepala daerah yang
nantinya akan mewarisi budaya korup karena dari proses pemilihannya pun sudah
di bumbui oleh praktek money politik, jika kita hitung dari semua pendapatan
kepala daerah khususnya walikota yakni gaji pokok Walikota/Bupati hanya 2,1 juta, Tunjangan yang diberikan setiap
bulan bagi Bupati dan Wali Kota hanya Rp 3,78 juta (Keppres No.68 tahun
2011) jadi tiap bulannya Walikota/Bupati menerima gaji + tunjangan
sebesar Rp. 5.88jt apabila kita hitung dalam 1 tahun Walikota/Bupati total
penerimaanya Rp. 70,56jt dan kalikan dalam 5 tahun 3,5 M. Maka mustahil mereka
tidak akan memikirkan bagaimana mengembalikan dana kampanye dan politik uang
untuk memperoleh suara dari masyarakat yang berpuluh puluh milyar tanpa melakukan
korupsi anggaran baik dari dana alokasi umum dan khusus belum lagi mark up
proyek yang akan di lakukan, Yang akhirnya masyarakat juga yang akan terkena
imbasnya semua pembangunan di daerahnya tidak berjalan, kesejahteraan
masyarakat tidak akan terlaksana dengan baik seperti masalah pendidikan,
kesehatan, lapangan pekerjaan, pemberantasan kemiskinan dll. Karena apabila ini
terus menerus di lakukan dan di wariskan secara turun temurun, pilkada langsung yang tujuannya
mempercepat pembangunan nasional secara merata akan berjalan lambat karena di
pegang oleh penguasa yang tidak bertanggung jawab karena dari proses pilkada
langsung sudah di warnai kecurangan dan money politik. Pilkada gagal menampilkan pemimpin yang
bisa dipilih rakyat dengan pemimpin terbaik. Karena ternyata banyak
kepala daerah terpilih yang kemudian masuk penjara karena terlibat kasus hukum,
misalnya korupsi. Di sisi lain, muncul pragmatisme di mana orang hanya mencari
kemenangan dengan cara apapun. Termasuk dilakukan dengan menipu rakyat ataupun
penyelenggara. Lalu, muncul oligarki dan kecanduan kekuasaan. Kekuasaan
ini mencandu, di mana orang sudah berkuasa, sudah selesai dua kali (periode
kepemimpinan), tapi masih mau daftar lagi dengan berbagai cara Kalau gagal,
lantas istrinya yang masuk, atau anaknya yang masuk, maupun saudaranya sendiri.
Adapun untuk mengatasi potensi kecurangan dari proses pilkada tersebut yaitu :
Untuk Daftar
Pemilih Tetap (DPT), Potensi kecurangan dapat diminimalisir dengan ikut
berperan aktif dalam memeriksa dan melaporkan bila terdapat pemilih yang belum
terdaftar, pemilih ganda atau terdaftar lebih dari satu kali, pemilih dari
unsur TNI/Polri, pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Untuk Money Politik, Meskipun relatif sulit
ditemukan bukti-bukti kecurangan model ini, kesaksian penerima uang sangat
berarti dalam mengungkapkan praktek money politik atau jual-beli suara ini.
Perlu dilakukan upaya serius dan upaya membangun kesadaran politik masyarakat
untuk bersedia mengungkap praktek yang menjadi cikal-bakal perbuatan korup para
kepala daerah ini, maka dari itu perlu adanya pendidikan politik bagi
masyarakat, jangan hanya dengan menerima masyarakat langsung memilih tanpa
memikirkan ke depannya. Untuk netralitas PNS Kecurangan model ini bisa
diantisipasi dengan sinerjinya PANWASLU juga karena tanpa adanya Netralitas
panwaslu juga akan sulit dan harus di bentuk lembaga independent yang berasal
dari masyarakat untuk melakukan kontrol sosial bagi PNS, pejabat instansi
lainnya, dengan merekam aksi para aparat pemerintah yang disinyalir melakukan
kampanye, adanya intervensi dari atasannya bagi pemenangan calon tertentu,
kumpulkan bukti-bukti dan kesaksian yang relevan untuk itu dan melaporkanya
kepada Panwas Pemilu untuk diambil tindakan sebagaimana mestinya. Sebaiknya
dalam pemilukada ada pereturan dalam penggunaan besarnya biaya untuk kampanye
tiap-tiap kandidat calon kepala daerah bahkan jika perlu untuk biaya kampanye
calon di biayai negara namun dengan nominal terbatas agar meminimalisir bentuk
korupsi nanti setelah menjabat karna terpikir baginya untuk mengembalikan biaya
kampanye yang di keluarkan semasa pilkada, sebetulnya dari semua itu yang paling
dominan yakni partai politik yang mendukung si calon kepala daerah tersebut
jikalau partai politik benar-benar mengusung si calon kepala daerah yang
benar-benar mempunyai track record yang baik, bersih dan peduli terhadap
daerahnya, jangan hanya dengan memberikan suntikan dana untuk mendukung si
calon maka partai politik dengan mudahnya menggunakan suara partainya tanpa
melihat kapabilitas dari si calon niscaya pasti akan hancur, karena masyarakat
dapat menilai langsung apabila si kepala daerah memiliki kinerja baik tentu
imbasnya juga kepada partai politik yang mengusungnya, dan apabila kinerja si
kepala daerah yang tidak baik, korup, maka begitu pun partai politik yang
mengusungnya akan rusak citranya di mata masyarakat dan dapat menghilangkan
kepercayaan.
Memang mengenai pilkada ini harus segera
dievaluasi Pasalnya, Pilkada ini sangat tak efisien Baik secara anggaran,
maupun pelaksanaan. Pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana APBD
Untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan 10 s/d 25
miliar rupiah Untuk pilkada provinsi minimal 100 s/d 200 miliar rupiah.
Bagi daerah yang memiliki pendapatan rendah, biaya sebesar itu jelas
memboroskan anggaran daerahnya. Efeknya, ini akan mempengaruhi alokasi untuk
pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya. pembiayaan
pilkada juga akan lebih baik jika dialokasikan dari APBN, bukan APBD. Sebab,
jika dari APBD, peluang politisasi anggaran sangat besar dilakukan oleh para
politisi lokal bahkan kepala daerah yang ingin maju lagi sudah barang tentu
akan memanipulasi anggaran di daerahnya untuk modal kampanyenya, Namun
peluangnya akan kecil bila dialokasikan dari APBN. Pilkada serentak juga akan
membuat political cost berkurang. Artinya, mesin partai tak akan menghabiskan
waktu banyak untuk pilkada. Waktu untuk bekerja menyelesaikan masalah rakyat
akan semakin banyak dan fokus Karena tak terlalu disibukkan oleh dinamika
pilkada. Bayangkan, jika mesin partai setelah sibuk urusi pilkada walikota,
lalu kabupaten, lalu provinsi. Kapan partai bisa fokus kerja mendukung proses
pembangunan pendidikan dan kesehatan bagi konstituennya Ini jelas tak bagus
bagi kualitas demokrasi kita Partai yang harusnya bisa turut menjadi
dinamisator pembangunan justru hanya menjadi sekedar mesin politik. Karenanya,
pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi kita. Selain menghapus
biaya politik tinggi, juga akan meningkatkan kualitas demokrasi, yang esensinya
harus mensejahterakan rakyat, pilkada jangan hanya rutinitas dan ajang pesta
demokrasi belaka tanpa menghasilkan para kepala daerah yang mempunyai
kapabilitas dan kinerja yang benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat dan
hanya menghabiskan anggaran saja belum lagi berbagai kecurangan yang menodai
dari pilkada tersebut.
No comments:
Post a Comment
kelik