--> WELCOME TO MY BLOG IVAN MOAN NST WELCOME TO MY BLOG IVAN MOAN NST

May 3, 2013

Pilkada dan pelanggaran



Jika bicara pilkada langsung, sejak era reformasi dan di terbitkannya undang-undang No.32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah atau otonomi daerah yang salah satu tujuan dari pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibaca pada bagian pembukaan menimbang (a), yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatua Republik Indonesia”. Memang dalam proses pilkada ini di harapkan akan terciptanya kepala daerah yang benar-benar mengerti akan inspirasi masyarakat di daerahnya masing-masing, sebagai pendewasaan akan sistem demokrasi indonesia, mempercepat pembangunan di daerah, dan yang paling utama dari pilkada ini adanya interaksi dari si calon dengan masyarakat yang memilihnya adanya kontrol sosial dan masyarakat tahu siapa dan latar belakang calon kepala daerahnya. Jika kita bandingkan dengan era orde baru setiap kepala daerah dan anggota DPRD di pilih melalui sistem perwakilan dari antar partai yang nota bene rakyat tidak mengetahui siapa si kepala daerah nya sama saja seperti membeli kucing di dalam karung, kemudian si kepala daerah pun harus membuat kebijakan seluruhnya berdasarkan pemerintah pusat atau dengan kata lain sentralisasi. Namun setelah hampir 8 tahun semenjak pilkada langsung di berlakukan pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai Kertanegara, hampir di tiap-tiap daerah setiap menyelenggarakan pilkada langsung pasti berbau adanya kecurangan dalam prosesnya, salah satunya mengenai Pilkada Kota Padangsidimpuan 2012 yang baru saja berlangsung dan dalam prosesnya banyak sekali pelanggaran-pelanggran yang terjadi.
Padangsidimpuan merupakan daerah pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan yang di mekarkan sejak tanggal 21 Juni 2001, berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2001. Pilkada langsung kota Padangsidimpuan pertama kali di lakukan pada tahun 2007 dan pada saat itu keluar sebagai pemenang yakni pasangan H. Zulkarnaen Nasution – Mara Gunung Harahap. Dan pada periode berikutnya yakni tahun 2012 walikota terdahulu H. Zulkarnaen tidak bisa ikut tampil lagi karena sudah 2 kali menjabat, pada pilkada kota Padangsidimpuan 2012 waktu itu di ikuti oleh 6 pasangan calon dan 2 di antara nya calon independen. Di katakan bahwa ada 2 calon walikota yang berasal dari anak salah satu kepala daerah Kab/kota yang ada di Sumatera Utara ini. Secara perhitungan keduanya unggul di banding pasangan lainnya dalam pendanaan kampanye karna di topang oleh dana yang berasal dari orang tuanya, terlihat sebelum masa kampanye keduanya sudah sering melakukan manuver-manuver politik guna menggait masyarakat seperti membuat perkumpulan dengan mengundang dan memberikan uang kepada masyarakat sebagai perkenalan, mengajak makan bersama para tukang becak, supir dan pedangang yang tujuan nya agar mendapat simpatik masyarakat. Dalam pilkada di setiap daerah memang sarat sekali pelanggaran pelanggaran seperti : Money Politik, Politik Dinasty, netralitas PNS biasanya kepada calon incumbent karna ada intervensi dari atasan dan pihak calon terkait , dan KPU serta Panwaslu yang tidak benar-benar fair, memobilisasi massa dalam kampanye dengan membagi-bagikan uang, memanipulasi data pemilih, menghilangkan suara rakyat dengan tidak mendaftarkannya ke DPT dengan mengintervensi KPU, dll. Tidak terkecuali pada pemilu Kota Padangsidimpuan tahun 2012 lalu banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang ada di lapangan seperti: adanya politik uang yang di lakukan pasangan calon walikota Padangsidimpuan, Dalam undang–undang no 12 tahun 2008 pasal 107 di katakan :
(1) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % ( lima puluh persen ) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Dari sini kita bisa mengkakulasikan bahwa 30 % dari jumlah pemilih kota Padangsidimpuan sekitar 148.000 pemilih adalah 44.400 orang untuk syarat kemenangan dalam perolehan dukungan jika perorang di beri 150.000 maka dana untuk membeli suara pemilih saja berkisar 6,6 M lebih bagi kedua pasangan ini sangat lah mudah untuk melakukan money politik guna membeli hak suara rakyat bagi mereka tiap calon kepala daerah tidak lah berat jika di banding perolehannya kelak ketika menjabat. Dalam pilkada yang lalu uang yang beredar di lapangan berkisar 100rb s/d 150rb/org. selain money politik pelanggaran lainnya yakni adanya intervensi dari walikota yang sekarang menjabat kepada para PNS untuk mendukung salah satu pasangan calon karena masih adanya hubungan pertalian persaudaraan kepada si pasangan calon, padahal netralistas PNS sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya yakni salah satunya UU No. 43 Th. 1999 (1) PNS harus Profesional, (2) PNS harus Netral dan tidak diskriminatif, (3) PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus Parpol. Namun pada kenyataannya di pilkada Padangsidimpuan ini PNS tidak mengindahkan dari undang undang yang berlaku bahkan sampai tingkat kepala lingkungan ambil andil ikut dalam proses serangan fajar dengan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat dan itu terjadi bukan saja di tempat saya sendiri hampir di setiap lorong, desa maupun lingkungan yang ada setiap kepala lingkungan membagi-bagikan uang dan di ketahui bahwa si pemberi uang tersebut salah satu calon yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan walikota yang sedang menjabat maka dari itu dengan memanfaatkan kekuasaannya mereka mengintervensi camat, lurah, kepling yang ada di kota ini. Kemudian dalam masalah pelanggaran administrsi yakni ada bukti bahwa salah satu calon memobilisasi massa yang berada di luar kota Padangsidimpuan agar ikut dalam pemilihan walaupun secara administrasi catatan sipil mereka bukan warga dari kota Padangsidimpuan namun incumbent mengintervensi KPU dengan memanipulasi DPT dan semua orang yang di suruh di tanggung semua biaya akomodasi dan semua kebutuhannya, sebenarnya banyak sekali bentuk bentuk pelanggrannya yang secara keseluruhan mencederai proses demokrasi sendiri di tiap-tiap daerah khususnya kota Padangsidimpuan, Pilkada secara langsung pada hakekatnya dianggap sebagai bentuk perwujudan praktek demokrasi yang paling sempurna, karena dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ini diharapkan mampu memunculkan calon-calon pemimpin yang dikenal dan lebih dekat dengan masyarakat. Secara teoritis tentu Pilkada langsung memberikan ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan pejabat publik di daerahnya masing-masing. Namun demikian berdasarkan realitasnya penyelenggaraan Pilkada secara langsung di kota Padangsidimpuan dan umumnya di tiap tiap daerah masih di warnai dengan kecurangan atau pelanggaran meskipun kasus-kasus tersebut sangat sulit dibuktikan namun aromanya begitu terasa di masyarakat umum, sehingga persoalan-persoalan tersebut menjadi kontraproduktif bagi perjuangan nilai-nilai demokrasi yang hendak ditegakkan di Indonesia khususnya daerah. Pilkada Padangsidimpuan pada umumnya hanya berlaku pada calon yang mempunyai dana yang besar dan di topang dengan elit yang berkuasa yang bisa memenangkan pemilihan, Keberadaan Partai politik yang besar pun tidak menjamin akan menang tanpa ada semuanya itu apalagi di sumatera utara faktor kemargaan sangat berpengaruh pada si calon kepala daerah apalagi ada pertalian saudara itu amat sangat kental di kota Padangsidimpuan dengan kata lain faktor putra daerah sangat berpengaruh pada masyarakat untuk memilih. Pilkada padangsidimpuan tahun 2012 lalu padahal menelan banyak anggaran yang dana nya di ambil dari APBD sebesar 10 Milyar lebih namun dari sekian banyaknya anggaran yang di gunakan sia-sia saja jika hanya menghasilkan kepala daerah yang nantinya akan mewarisi budaya korup karena dari proses pemilihannya pun sudah di bumbui oleh praktek money politik, jika kita hitung dari semua pendapatan kepala daerah khususnya walikota yakni gaji pokok Walikota/Bupati hanya 2,1 juta, Tunjangan yang diberikan setiap bulan bagi Bupati dan Wali Kota hanya Rp 3,78 juta (Keppres No.68 tahun 2011) jadi tiap bulannya Walikota/Bupati menerima gaji + tunjangan sebesar Rp. 5.88jt apabila kita hitung dalam 1 tahun Walikota/Bupati total penerimaanya Rp. 70,56jt dan kalikan dalam 5 tahun 3,5 M. Maka mustahil mereka tidak akan memikirkan bagaimana mengembalikan dana kampanye dan politik uang untuk memperoleh suara dari masyarakat yang berpuluh puluh milyar tanpa melakukan korupsi anggaran baik dari dana alokasi umum dan khusus belum lagi mark up proyek yang akan di lakukan, Yang akhirnya masyarakat juga yang akan terkena imbasnya semua pembangunan di daerahnya tidak berjalan, kesejahteraan masyarakat tidak akan terlaksana dengan baik seperti masalah pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, pemberantasan kemiskinan dll. Karena apabila ini terus menerus di lakukan dan di wariskan secara turun temurun, pilkada langsung yang tujuannya mempercepat pembangunan nasional secara merata akan berjalan lambat karena di pegang oleh penguasa yang tidak bertanggung jawab karena dari proses pilkada langsung sudah di warnai kecurangan dan money politik. Pilkada gagal menampilkan pemimpin yang bisa dipilih rakyat dengan pemimpin terbaik. Karena ternyata banyak kepala daerah terpilih yang kemudian masuk penjara karena terlibat kasus hukum, misalnya korupsi. Di sisi lain, muncul pragmatisme di mana orang hanya mencari kemenangan dengan cara apapun. Termasuk dilakukan dengan menipu rakyat ataupun penyelenggara. Lalu, muncul oligarki dan kecanduan kekuasaan. Kekuasaan ini mencandu, di mana orang sudah berkuasa, sudah selesai dua kali (periode kepemimpinan), tapi masih mau daftar lagi dengan berbagai cara Kalau gagal, lantas istrinya yang masuk, atau anaknya yang masuk, maupun saudaranya sendiri. Adapun untuk mengatasi potensi kecurangan dari proses pilkada tersebut yaitu :
Untuk Daftar Pemilih Tetap (DPT), Potensi kecurangan dapat diminimalisir dengan ikut berperan aktif dalam memeriksa dan melaporkan bila terdapat pemilih yang belum terdaftar, pemilih ganda atau terdaftar lebih dari satu kali, pemilih dari unsur TNI/Polri, pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Untuk Money Politik, Meskipun relatif sulit ditemukan bukti-bukti kecurangan model ini, kesaksian penerima uang sangat berarti dalam mengungkapkan praktek money politik atau jual-beli suara ini. Perlu dilakukan upaya serius dan upaya membangun kesadaran politik masyarakat untuk bersedia mengungkap praktek yang menjadi cikal-bakal perbuatan korup para kepala daerah ini, maka dari itu perlu adanya pendidikan politik bagi masyarakat, jangan hanya dengan menerima masyarakat langsung memilih tanpa memikirkan ke depannya. Untuk netralitas PNS Kecurangan model ini bisa diantisipasi dengan sinerjinya PANWASLU juga karena tanpa adanya Netralitas panwaslu juga akan sulit dan harus di bentuk lembaga independent yang berasal dari masyarakat untuk melakukan kontrol sosial bagi PNS, pejabat instansi lainnya, dengan merekam aksi para aparat pemerintah yang disinyalir melakukan kampanye, adanya intervensi dari atasannya bagi pemenangan calon tertentu, kumpulkan bukti-bukti dan kesaksian yang relevan untuk itu dan melaporkanya kepada Panwas Pemilu untuk diambil tindakan sebagaimana mestinya. Sebaiknya dalam pemilukada ada pereturan dalam penggunaan besarnya biaya untuk kampanye tiap-tiap kandidat calon kepala daerah bahkan jika perlu untuk biaya kampanye calon di biayai negara namun dengan nominal terbatas agar meminimalisir bentuk korupsi nanti setelah menjabat karna terpikir baginya untuk mengembalikan biaya kampanye yang di keluarkan semasa pilkada, sebetulnya dari semua itu yang paling dominan yakni partai politik yang mendukung si calon kepala daerah tersebut jikalau partai politik benar-benar mengusung si calon kepala daerah yang benar-benar mempunyai track record yang baik, bersih dan peduli terhadap daerahnya, jangan hanya dengan memberikan suntikan dana untuk mendukung si calon maka partai politik dengan mudahnya menggunakan suara partainya tanpa melihat kapabilitas dari si calon niscaya pasti akan hancur, karena masyarakat dapat menilai langsung apabila si kepala daerah memiliki kinerja baik tentu imbasnya juga kepada partai politik yang mengusungnya, dan apabila kinerja si kepala daerah yang tidak baik, korup, maka begitu pun partai politik yang mengusungnya akan rusak citranya di mata masyarakat dan dapat menghilangkan kepercayaan.
Memang mengenai pilkada ini harus segera dievaluasi Pasalnya, Pilkada ini sangat tak efisien Baik secara anggaran, maupun pelaksanaan. Pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana APBD Untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan 10 s/d 25 miliar rupiah Untuk pilkada provinsi minimal 100 s/d 200 miliar rupiah. Bagi daerah yang memiliki pendapatan rendah, biaya sebesar itu jelas memboroskan anggaran daerahnya. Efeknya, ini akan mempengaruhi alokasi untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya. pembiayaan pilkada juga akan lebih baik jika dialokasikan dari APBN, bukan APBD. Sebab, jika dari APBD, peluang politisasi anggaran sangat besar dilakukan oleh para politisi lokal bahkan kepala daerah yang ingin maju lagi sudah barang tentu akan memanipulasi anggaran di daerahnya untuk modal kampanyenya, Namun peluangnya akan kecil bila dialokasikan dari APBN. Pilkada serentak juga akan membuat political cost berkurang. Artinya, mesin partai tak akan menghabiskan waktu banyak untuk pilkada. Waktu untuk bekerja menyelesaikan masalah rakyat akan semakin banyak dan fokus Karena tak terlalu disibukkan oleh dinamika pilkada. Bayangkan, jika mesin partai setelah sibuk urusi pilkada walikota, lalu kabupaten, lalu provinsi. Kapan partai bisa fokus kerja mendukung proses pembangunan pendidikan dan kesehatan bagi konstituennya Ini jelas tak bagus bagi kualitas demokrasi kita Partai yang harusnya bisa turut menjadi dinamisator pembangunan justru hanya menjadi sekedar mesin politik. Karenanya, pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi kita. Selain menghapus biaya politik tinggi, juga akan meningkatkan kualitas demokrasi, yang esensinya harus mensejahterakan rakyat, pilkada jangan hanya rutinitas dan ajang pesta demokrasi belaka tanpa menghasilkan para kepala daerah yang mempunyai kapabilitas dan kinerja yang benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat dan hanya menghabiskan anggaran saja belum lagi berbagai kecurangan yang menodai dari pilkada tersebut.

No comments:

Post a Comment

kelik