--> WELCOME TO MY BLOG IVAN MOAN NST WELCOME TO MY BLOG IVAN MOAN NST

Oct 2, 2012

kepemmpinan publik

chaayoo
Semakin tajam arah untuk re-orientasi format rekrutmen kepemimpinan daerah yang merefleksikan keraguan akan format Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pilkada secara langsung sejak Juni 2005 belum dirasakan memberikan dampak kemajuan daerah yang menonjol, sampai-sampai secara keseluruhan disebut sebagai ”high cost-low impact”. Untuk itu, sejalan pula dengan perkembangan kesadaran kembali kepada jiwa dan nilai-nilai bangsa, dapat kita telusuri kebutuhan kita akan kepemimpinan publik untuk menjalankan agenda desentralisasi di Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Kepemimpinan pemerintahan atau kepemimpinan dalam urusan publik selama ini secara sederhana hanya dikaitkan dengan kegiatan kerja sehari-hari dalam bentuk pelayanan publik. Para pekerja atau karyawan tidak perlu memperhatikan issue tingkat tinggi (higher level issues) atau rencana jangka panjang karena yang penting adalah apa yang harus dikerjakan saat ini yang ada di depan mata. (MARK Tucci, 2008). Ciri prilaku seperti itu juga muncul dalam format horisontal atau yang sering kita sebut ego-sektoral karena hanya memikirkan keberhasilan sektor saja atau ego daerah, dimana pembangunan dilakukan hanya tanpa mempertimbangkan kerangka kewilayahan yang menyangkut daerah lainnya.
Dalam perkembangan sekarang pemahaman manajemen tradisional seperti itu sudah harus ditinggalkan. Dalam urusan publik, untuk perubahan dan pengembangan inovasi sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan, maka kepemimpinan dalam pemerintahan menjadi sangat penting, dan semua rangkaian kegiatan managerial tidak dapat di pilah-pilah dalam segmen tingkatan jabatan. Untuk itu juga harus ada perluasan fokus dan senantiasa menjaga siklus manajemen tidak saja kegiatan hari-hari, tetapi juga dimensi kelembagaan organisasi, aparatur dan masyarakat yang dilayani.
MARK Tucci (2008) menyebutkan beberapa ciri penting kepemimpinan dalam sektor publik atau kepemerintahan yang meliputi : Pertama, membangun kesatuan tujuan (building unity of purpose), dengan cara berbagi visi (shared vision), yaitu melibatkan sekaligus mendidik aparatur dan mempertegas hal-hal yang menjadi tanggung jawab pada dirinya; sehingga tidak berkembang buruk dengan pola-pola mengambil manfaat pribadi (sering disebut WIIFM atau What’s in it for me). Dalam posisi ini jelas visi bersama yang dibangun ialah tujuan berbangsa dan bernegara. Kedua, melakukan klarifikasi arahan (Clarifying direction), berupa langkah-langkah strategis yang diturunkan dari visi dan pola-pola aksi yang terukur. Hal ini penting untuk semua aparat memahami sasaran ideal yang ingin dicapai dan sekaligus aparat dapat memahami rencana kerja detail yang menjadi bagian tugasnya. Inilah kesempatan terbaik untuk menjabarkan visi menjadi kenyataan. Dalam hal ini arahan dan penjabaran sekaligus dapat dikembangkan dalam ukuran serta nilai-nilai Pancasila dan Wawasan Kebangsaan. Ketiga, bergeser dari pendekatan transaksi menjadi transformasi, yaitu dirasakan penting untuk berbagi visi dan memahami tujuan operasional dan organisasional yang lebih luas guna menghindari fokus yang sempit dan hanya dalam orientasi transaksi individual. Mendorong kontribusi individual kepada sasaran yang lebih tinggi dan tujuan yang lebih luas serta untuk mencapai hal-hal yang lebih bernilai, lebih efektif dan efisien atas sistem dan proses berbagai transaksi. Pergeseran dari transaksi menjadi transformasi hanya akan dapat terjadi apabila aparat memahami bahwa tugas sehari-hari mereka merupakan bagian dari tujuan organisasi; aparat mampu menghubungkan antara program operasional, proyek dan issue secara jelas; aparat paham atas kebutuhan akan berbagai inovasi untuk berbagai solusi; aparat mempu berkolaborasi, koordinasi dan mendukung tim kerja sehari-hari secara terus menerus meningkatkan proses kerja.Disinilah aktualisasi secara kongkret akan nilai-nilai kepemimpinan yang berdasarkan Pancasila dengan orientasi pokok yaitu meletakkan secara tepat berbagai kepentingan dalam kerangka kepentingan yang lebih luas yaitu untuk bangsa dan negara dapat terjadi.Keempat, membangun pusat peningkatan kemampuan, dimana aparat pada dasarnya bekerja berdasarkan jenjang karir, bukan atas dasar imbalan uang dan bonus. Aktivitasnya ditujukan untuk layanan yang lebih baik sehingga pusat layanan tidak saja dibangun untuk kepentingan layanan bagi masyarakat tetapi juga untuk kepentingan peningkatan jasa pelayanan diantara aparat sendiri seperti kenyamanan bekerja, pusat-pusat latihan dan pendidikan menjadi sangat penting.


Dalam kerangka kehidupan kenegaraan di Indonesia, kepemimpinan manajemen pemerintahan daerah sebagai bagian dari operasional kehidupan kenegaraan bukanlah hal yang sederhana. Kenyataan menunjukkan pada kita indikasi kompleksitas permasalahan pembangunan yang sedang dan akan dihadapi. Beberapa permasalahan diantaranya memiliki relevansi langsung dengan agenda desentralisasi atau pelaksanaan otonomi daerah seperti 8 langkah MDG’s yang jelas-jelas menempatkan jajaran daerah sebagai pusat kegiatan. Masalah lain ialah gejala pemilahan sosial, masalah-masalah friksi dalam pengelolaan sumber daya alam, dan friksi sektor-sektor pembangunan di daerah. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam penyelenggaraan otonomi daerah merupakan hal penting untuk mendapatkan perhatian.
Sama derajatnya dengan antisipasi terhadap globalisasi, maka penanganan desentralisasi atau pengelolaan daerah adalah sangat penting didasari pada pijakan moral Pancasila dalam kepemimpinan. Moral kepemimpinan nasional yang bersumber pada Pancasila tercermin secara terpadu dalam kelima sila Pancasila yaitu : Pertama, moral ketakwaan yang dicirikan dengan keimanan, dan kesetaraan sesama manusia di mata Tuhan. Refleksi yang muncul ialah menghargai pekerjaan, mempercayai kemampuan dan menghormati orang pada bidang pengabdiannya. Dalam konteks otonomi daerah, ciri ini penting untuk memberikan delegasi wewenang dengan prinsip kepercayaan tersebut. Kedua, moral kemanusiaan, pengakuan akan HAM, membangun kohesi sosial, mendorong harmoni kehidupan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, ciri ini penting untuk menjaga harmonisasi daerah dan dalam hubungan pusat daerah serta antar daerah. Ketiga, moral kebersamaan dan kebangsaan, semangat persatuan diantara sesama warga dan untuk mencapai tujuan bersama, mengutamakan kepentingan nasional dari pada pribadi atau golongan. Dalam konteks otonomi daerah ciri ini sangat relevan karena apapun yang berkembang di daerah dan di pusat semata-mata berlangsung untuk kepentingan pusat dan daerah secara harmoni. Orientasi kepentingan nasional semata-mata diorientasikan untuk membangun dalam rangka mencapai tujuan bersama sebagai bangsa. Semangat persatuan dan kesatuan dalam aplikasi otonomi daerah sangat penting karena dengan semangat ini delegasi wewenang diberikan dan wewenang yang diberikan melalui desentralisasi dilaksanakan secara baik dan untuk tujuan bersama sebagai bangsa. Bagi daerah yang memiliki kemampuan fiskal yang tinggi akan tumbuh solidaritas sebagai bangsa untuk pengaturan fiskal bagi daerah-dareah lain dengan kapasitas fiskal yang rendah atas pertimbangan tujuan bersama sebagai bangsa.Keempat, moral kerakyatan dengan ciri keterbukaan, konsisten. Kepastian atas kebijakan, sebagai lanjutan dari moral takwa, kemanusiaan dan kebersamaan yang mengharuskan pemimpin menyatu dengan masyarakat, sebagai fasilitator dan responsif atas kebutuhan masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah ciri ini sangat relevan karena otonomi daerah memang didorong untuk memberdayakan masyarakat dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Prinsip partisipatif dan keterbukaan dalam good governance merupakan ciri yang muncul dari dimensi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan motto kebijakan otonomi daerah tersebut.Kelima, moral Keadilan dengan ciri bersandar pada keimanan dan ketakwaan, semangat kebersamaan dan kebangsaan untuk mendorong keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam konteks otonomi daerah ciri ini sangat penting karena semangat otonomi daerah untuk memberikan kesejahteraan rakyat termasuk didalamnya dimensi keadilan, juga dengan semangat ini, melalui kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah, bagian masyarakat paling kecil pun akan terdengar suaranya dalam pengambilan keputusan sebagaimana ciri otonomi daerah.
Sejalan dengan kebutuhan rakyat kepada pemerintah atau eskekutif, yaitu dalam hal penyediaan keadaan dengan stabilitas dan keteraturan di tengah masyarakat, terbukanya akses bagi rakyat untuk memperoleh kesejahteraan, juga untuk menempatkan kehormatan bagi rakyat sebagai warga negara dan untuk membangun demokrasi yang menempatkan rakyat secara pribadi dapat menjadi dirinya sendiri, tidak tertekan, tidak terjajah dan memiliki otonomi atas dirinya (HEYWOOD, 2002), maka sangat besar harapan rakyat kepada pemimpin publik atau pemerintahan. Dengan demikian untuk pelaksanaan pemerintahan daerah dan aktualisasi otonomi daerah secara nyata, terdapat kebutuhan akan kepemimpinan daerah yang mensyaratkan ciri-ciri berikut: 1) Pemimpin yang visioner, memiliki visi ke depan dan visi perubahan, sehingga secara terus menerus ikut memikirkan perubahan yang dibutuhkan dalam rangka desentralisasi; 2) Pemimpin yang memberikan arahan kerja (direct) dan sekaligus melatih dalam bentuk bekerja bersama-sama dengan jajaran aparatur (coach) untuk pemecahan berbagai masalah; 3) Pemimpin sebagai komunikator bagi masyarakat (spoke person) dan sekaligus memiliki kemampuan bernegosiasi dalam kepentingan masyarakat (negotiator) dan 4) Pemimpin yang memiliki keberanian yang luar biasa, berani memutuskan dan mengatakan kebenaran melalui langkah-langkah pengawasan dan tegas dalam membina aparat dan strata pemerintahan daerah dibawahnya secara berjenjang dari tingkat naisonal, provinsi, kabupaten/kota sampai ke desa/kelurahan. Ciri-ciri itu mempertegas pentingnya kepemimpinan yang paripurna untuk memandu pelaksanaan otonomi daerah.

No comments:

Post a Comment

kelik