chaayoo
Jika
kita menyimak dari kegiatan politik praktis ternyata para politisi dari Partai
Politik (Parpol) kontestan Pemilu 2014 terutama dalam bersosialisasi menjelang
pemilu sering menggunakan istilah-istilah yang dikenal dalam ilmu ekonomi. Bahkan,
kini, cara kampanyenya tak ubahnya seperti cara yang dilakukan oleh para pelaku
ekonomi pada umumnya dalam menggait konsumen Para Parpol, menarik simpatik
rakyat calon pemilih dengan memasang iklan di segala macam media massa dari
media cetak, radio, televisi sampai internet. Kita lihat sudah banyak para
kandidat capres pun yang berjualan di televisi mulai dari menjanjikan ini dan
itu, bahkan sudah ada yang berduet sebagai pasangan capres dan cawapres.
Para
politisi pun sering menggunakan istilah-istilah ekonomi dalam statement
politiknya seperti istilah politik dagang sapi, politisi busuk, politisi kutu
loncat, politisi jambu( janji busuk ) kader tak layak jual, program tak layak
ditawarkan, Dalam konteks ini, para politisi bisa dikonotasikan telah
menempatkan rakyat calon pemilih sebagai konsumen politik agar bersedia
mencoblos Parpol yang dijualnya tersebut.
Pemilu
seharusnya memberikan kesempatan rakyat untuk memilih ideologi, bukan memilih
sekedar gambar Parpol dan Calegnya, apalagi karena janji-janji muluk yang
disampaikan oleh para caleg / capres dari Parpol. Sayangnya, pilihan ideologi
bagi rakyat telah dikubur selama kurang lebih 46 Tahun tahun sejak Orde Baru
(Orba) lahir. Selama itu Pemilu telah kehilangan essensinya. Rakyat tidak punya
pilihan ideologi lain selain Pancasila. Karena ketiga Parpol di zaman Orba
(PPP, GOLKAR, dan PDI) ketiganya berazaskan ideologi Pancasila. Mulai saat itu
rakyat hanya disuguhi janji-janji muluk setiap menjelang pelaksanaan Pemilu.
Pilihan ideologi seperti ideologi komunis, sosialis, kapitalis dan agama tak
boleh muncul.
Akibatnya
apa? Pilihan Parpol dengan mudah ditransaksikan Karena rakyat menilai bahwa
semua partai itu sama saja Tak ada azas ideologi lain yang tak boleh
ditransaksikan dengan bentuk apa pun yang secara konseptual untuk mengkritisi
proses pembangunan dan sistem ketatanegaraan yang berlangsung selama Orba. Nuansa
kampanyenya menjadi monoton, sama dengan nuansa kampanye di Orde Reformasi ini.
Meskipun sekarang ada 15 Parpol + Partai Lokal Aceh ada yang katanya berazaskan
nasionalisme, namun tak terdengar tawaran konseptualnya yang meyakinkan dan
menjamin rakyat keluar dari kemiskinan, kebodohan, penindasan struktural, dan
keterbelakangan. Sama halnya dengan Parpol lainnya yang masih mengaku
mengatasnamakan agama tentang kemashlahatan ummat tapi apa justru mereka yang
menelan ummatnya sendiri.
Rakyat
hanya diberi suguhan tontonan dengan jargon-jargon kosong Tak ada pilihan
ideologi lain sebagai pandangan dunia yang menjanjikan mampu mengubah
kesengsaraan rakyat ke arah yang lebih baik. Setting Pemilu dari zaman Orba
sampai Orde Reformasi ini masih belum ada perubahan hanya pelaksanaan teknis
dan memperkecil competitor saja. Rakyat calon pemilih atau konsumen politik
masih disetting berpikir linear. Linear dalam artian, rakyat masih digiring
untuk memilih calon anggota legislatif DPR RI, DPR Provinsi, dan DPR
Kabupaten/Kota pada satu macam Parpol saja, Padahal pilihan linear semacam ini
hanya wajib bagi para simpatisan dan kader Parpol bukan menjadi kewajiban bagi
rakyat nor-partisan Parpol. Kelompok ini tak punya ikatan moral, historis
maupun ideologis dengan Parpol mana pun. Maka pilihannya sangat tergantung pada
kualitas Caleg di masing-masing Parpol baik di Pusat, Provinsi, dan di
Kabupaten/Kota. Dalam kenyataannya para Caleg dari masing-masing Parpol di
setiap tingkatan itu kompetensi, konsistensi dan kapabilitasnya berbeda beda
gak jauh-jauh di kota saya sendiri sudah terlihat perbedaannya.
Ada
Caleg DPR RI busuk yang ditawarkan suatu Parpol namun di Parpol lainnya ada
Caleg yang masih bersih. Begitu juga Caleg Parpol di masing-masing Provinsi dan
Kebupaten/Kota. Meski Caleg Pusatnya itu busuk tapi kemungkinan ada yang Caleg
di Propinsinya cukup lumayan dan di tingkat Kabupaten/Kota agak baik karena
baru mencalonkan diri. Sebaliknya, di Provinsi dan Kabupaten/Kota Calegnya
busuk, namun di Pusat agak lumayan karena baru menjadi pimpinan Parpol.
Bagaimana rakyat non-partisan Parpol memilihnya? Kelompok rakyat ini perlu
dididik untuk berpikir jernih untuk memilih Karena yang baik di Pusat belum
tentu baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebaliknya, yang baik di Provinsi belum
tentu baik di Pusat dan Kabupaten/Kota Dan yang baik di Kabupaten/Kota belum
tentu baik di Provinsi dan Pusat. Setting Pemilu tahun ini bukan memilih
ideologi, tapi memilih gambar dan orang yang belum tentu baik dan konsisten.
Karenanya masyarakat pemilik hak pilih dengan mudah mentransaksikan pilihannya.
Sekarang
telah terbuka kesempatan untuk menjadi Caleg bagi mantan anggota Parpol
terlarang di masa Orba. Kekhawatiran masa lalu tak perlu menjadi alasan untuk
melihat masa depan kita. Harapan masa kini tak sama dengan harapan masa yang
lalu. Rakyat sudah sewaktunya diberikan pilihan ideologi Parpol bukan ideologi
Negara. Ideologi Parpol tak sama dengan ideologi Negara Ideologi Negara hanya
satu, namun ideologi Parpol boleh bermacam-macam sesuai dengan aliran filsafat
kehidupan yang berkembang di dunia. Semua idelogi itu bisa dipelajari tanpa
adanya batasan ruang dan waktu. Kenyataannya masyarakat kita ½ sadar atau tak sadar
- telah menganut beragam ideologi yang ada. Praktik kehidupan secara prakmatis
bisa kita lihat di mana-mana.
Individulisme
bisa kita temukan di setiap orang Kehidupan materialisme sudah tak bisa
dipisahkan dengan gejala kehidupan masyarakat kita Kapitalisme tak bisa
dipisahkan dengan kehidupan ekonomi kita. Ateisme muncul di setiap saat di
dalam diri kita Hedonisme subur berkembang di tempat terhormat maupun tak
terhormat. Namun dengan memakai topeng mereka mengatakan berideologi sama,
Pancasila. Ini semua akibat setting Orba agar masyarakat selalu punya visi dan
misi yang sama dalam hal apa pun. Baik dalam kegiatan organisasi
kemasyarakatan, politik, keagamaan, kenegaraan, bahkan dalam berkorupsi. Semua
diukur dengan kesamaan yang telah dihakpatenkan Orba. Di luarnya berarti
menyalahi hak patennya dan wajib menerima sangsi. Tapi kenyataannya semua orang
hanya memakai topeng. Kini topeng itu belum terbuka seluruhnya Terutama dalam
jargon-jargon kampanye selama ini yang katanya demi kepentingan masyarakat luas
seluas-luasnya di atas kepentingan diri sendiri dan golongan.
Tapi
kenyataannya tak lebih dari pengejawantahan kehidupan hedonisme, materialisme,
kapitalisme, individualisme, bahkan ateisme. Kalau tidak, mengapa menjadi
koruptor? Berdalih melegislasi kebijakan namun dampaknya terhadap kehidupan
rakyat dan ekonomi Negara malah memperburuk keadaan. Karenanya sudah saatnya
kita buka semua topeng yang menutupi kebanyakan wajah orang agar jelas
isme-isme yang tampak (maaf) di jidat masing-masing Caleg kita itu agar
masyarakat konsumen politik tak selalu menjadi permainan para politisi. Salam IndonesiaRaya.
No comments:
Post a Comment
kelik