Pemilihan umum
merupakan sarana berdemokrasi bagi masyarakat dalam memilih calon anggota
legislatif ataupun presiden serta kepala daerah. Pemilihan umum juga merupakan
ciri negara demokrasi, dimana masyarakat yang menentukan sendiri siapa yang
akan memimpin mereka, lain halnya pada negara yang menganut sistem kerajaan. Dalam
negara kita pemilihan umum sudah ada sejak masa orde lama yang dilakukan
pertama kalinya pasca kemerdekaan yakni tahun 1955 pada masa itu masyarakat
kita sangat antusias mengikuti jalannya proses pemilihan umum tersebut dengan
kata lain masih banyak masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam ajang
pemilihan umum tersebut.
Pemilihan umum
di ikuti oleh beberapa partai politik yang masuk verifikasi yang telah
ditentukan oleh penyelenggara pemilihan umum tersebut, di sinilah partai
politik bertarung dan bersaing untuk bisa memenangkan pemilihan umum tersebut
agar calon-calon mereka bisa ditempatkan pada kursi legislatif begitu juga pada
pemilihan presiden.
Keberhasilan pemilihan
umum itu sendiri ditentukan oleh partisipasi dari masyarakat nya sendiri dalam
menggunakan hak suara nya pada pemilihan umum tersebut, maka masyarakatlah yang
menjadi titik tolak keberhasilan dari pemilihan umum yang diselenggarakan. Sejak
tahun 1955 dimana pertama kalinya pemilihan umum dilakukan hingga pemilihan
umum tahun 2009 tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti ajang pemilihan
umum cenderung menurun dari masa-ke masa. Kita bisa lihat dari data pemilihan
umum pasca reformasi tahun 2004 terdapat 23,35 % masyarakat yang tidak
menggunakan hak suaranya (Golput), kemudian pada pemilihan umum tahun 2009
hampir mencapai 40% yang tidak menggunakan haknya dalam memilih (Golput),
mungkin ini bisa menjadi PR bagi pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggara
pemilihan umum sendiri, agar pemilihan umum di masa-masa yang akan datang tidak
seperti yang dulu dulu lagi.
Sebenarnya mengapa
masyarakat itu sendiri menjadi Golput? Sebelum kita mencari tahu disini lebih
baik kita pahami makna kata Golput (Golongan Putih) terlebih dahulu, karena
sekilas kita mengira Golput itu hanya istilah saja bagi mereka-mereka yang
tidak menggunakan haknya saja. “Golput itu sendiri adalah singkatan dari
Golongan Putih. Mereka adalah pemilih dalam Pemilu yang tidak menggunakan hak
pilihnya. Awalnya, Golput adalah gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda
untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971. Tokoh yang terkenal memimpin
gerakan ini adalah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah Golput ini sendiri adalah Imam
Waluyo. Dipakai istilah putih karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos
bagian putih pada kertas atau surat suara. Di luar gambar partai politik
peserta Pemilu. Namun, di masa itu, jarang ada yang berani tidak datang ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Maklum, baru saja Orde Baru
selesai melakukan konsolidasi dengan melibas habis bukan saja pendukung PKI
(Partai Komunis Indonesia) tapi juga para pendukung rezim Orde Lama dan para
Soekarnois. Pemilu 1971 adalah sarana bagi rezim Orde Baru untuk memantapkan
kekuasaannya di negeri ini. Kebanyakan tokoh pencetus Golput sendiri
adalah “Angkatan 66”. Ini adalah sebutan bagi mahasiswa dan pemuda yang ikut
dalam demonstrasi massa besar menuntut penjungkalan Soekarno. Sebagian dari
tokoh “Angkatan 66” diakomodasi Orde Baru ke dalam sistem. Mereka ada yang
menjadi anggota DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong), bahkan kemudian
ada yang menjadi Menteri. Namun, ada yang tetap kritis melawan rezim baru yang
dianggap mengingkari janji itu”. (Sumber : NOISEBLAST MEDIA).
Namun apakah
sama Golput dahulu dengan Golput yang sekarang? Tujuannya sama namun yang
melatarbelakanginya berbeda, kita lihat fenomena golput pada pemilihan umum pasca
reformasi ini berbagai alasan bisa terjadi mereka tidak menggunakan suaranya..
yaitu :
1.
Adanya pemahaman bahwa
pemilu itu haram produk atau sistem orang amerika, maka mereka menganggap
apabila mengikutinya akan berkeyakinan mendukung sistem orang nasrani.
2.
Adanya ketidakcocokan akan
para sicalon, mereka menganggap calon yang akan dipilih bukan figur yang cocok
jadi lebih baik diam tidak mencoblos
3.
Faktor sosialisasi dari
para penyelenggara yang belum tepat sasaran kepada publik sehingga masyarakat
khususnya dipedesaan banyak yang tidak mengetahuinya dari cara pemilihan sampai
pada sicalon yang akan mereka pilih
4.
Faktor ekonomi, jikalau ada
uang yang diberi oleh salah satu calon mereka akan memilih, namun jika tidak
ada mereka golput lebih baik mereka bekerja mencari nafkah untuk mecukupi
kebutuhan keluarga mereka
5.
Tidak adanya kepedulian
mereka akan bangsa ini (Apatis) mereka menganggap memilih dan tidak memilih
akan sama saja kehidupan mereka seperti ini saja tidak ada pengaruhnya
6.
Faktor kekecewaan kepada
mereka-mereka yang telah terpilih sebelumnya namun mengingkari janjinya. Mereka
menganggap jikalau terpilih akan seperti sebelumnya maka mereka mengelompokan
bahwa orang yang satu dengan yang lain sama saja. Maka itu mereka memutuskan
tidak akan memilih satupun
Faktanya memang
“Partai Golput” selalu menjadi pemenang sejak dulu. Ya, kenapa? coba kita lihat
perolehan partai golkar yang mencapai 21.56% pada pemilihan umum tahun 2004
Golkarlah yang memperoleh suara tertinggi dibandingkan yang lain. Namun, angka
golput justru lebih tinggi dibandingkan persentase perolehan suara golkar. Begitu
juga pada pemilihan umum tahun 2009 yang dimenangkan oleh partai demokrat
dengan perolehan suara sebanyak 20,85% sedangkan angka golput sebanyak 40%.
Memang selama
ini sudah berbagai upaya dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum untuk
menekan angka golput tersebut mulai dari sosialisasi melalui media massa,
seminar kesekolah, karnaval, pawai serta membuat UU bagi para penganjur
golput.seperti pada UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD pasal 292 yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja mengakibatkan
orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara maksimal 2
tahun dan denda sebesar Rp24juta. Namun apakah yang dilakukan semua itu sudah
sangat efektif? Saya rasa belum.
Memang Golput
itu sudah menjadi pilihan terbaru bagi masyarakat ya memang itu adalah pilihan
memilih dan tidak memilih. Terlepas dari itu kita seharusnya bersama-sama
menyelesaikan 6 akar penyebab mengapa mereka golput seperti yang di uraikan
diatas tadi. Disini perlu adanya peran dari pihak penyelenggara pemilihan umum
sendiri (KPU), pemerintah, pimpinan partai politik serta tokoh masyarakat yang
ada agar sama-sama memberikan kesadaran terhadap masyarakat agar tidak ada lagi
masyarakat yang apatis terhadap permasalahan bangsa, yakinkan bahwa suara mereka
menentukan nasib bangsa ini selama 5tahun kedepan. Jadilah mereka pemilih yang
cerdas dan jangan lagi pesismis.
Dari ke enam
permasalahan tadi yang paling utama adalah point terakhir yakni kepada para
calon baik legislatif, presiden maupun kepala daerah agar bisa meyakinkan
masyarakat. Keikutsertaan masyarakat sangat diperlukan maka itu sicalon jangan
hanya obral janji kepada masyarakat setelah terpilih mereka lupa sehingga
masyarakat kecewa. Berikan keyakinan terhadap masyarakat bahwa kalian akan
menepati janji setelah terpilih dan jangan ajari masyarakat untuk praktek jual
beli suara. Semoga permasalahan ini bisa kita minimalisir agar tujuan dari
pemilihan umum itu tercapai jangan hanya sebuah ritual semata ajang perayaan
selama 5tahun sekali dengan anggaran besar namun terbuang sia-sia tidak
digunakan oleh masyarakat apalagi mendapatkan wakil-wakil kita yang duduk
dilegislatif, dan pemimpin kita hanya dengan cara-cara yang melanggar kaidah
hukum yang berlaku semoga saja pemilihan umum mendatang dapat menarik rasa
antusiame masyarakat untuk berpartisipasi. Amin …..
No comments:
Post a Comment
kelik